Melawan dengan Suara: Keberanian Menghadapi Rezim Populis dan Kezaliman yang Dilegalkan

Oplus_0

Oleh : Andi Jaya Sose
Praktisi Sosial Kemasyarakatan

Satu seruan sederhana namun tajam, mengingatkan kita akan pentingnya bersuara di tengah kezaliman yang makin terlembagakan.

Di era pemerintahan populis seperti saat ini, keberanian menyuarakan kebenaran bukan lagi pilihan—melainkan kewajiban moral.

Pemerintahan populis sering kali menjanjikan segalanya, tapi justru memikul beban ekspektasi yang tak masuk akal. Akibatnya, keadilan dan toleransi menjadi korban pertama.

Rezim seperti ini bertahan bukan karena legitimasi sejati, melainkan karena praktik balas jasa dan kooptasi yang menjelma jadi bentuk kezaliman baru.

Semakin besar beban kekuasaan, semakin besar pula kebutuhan akan pengetahuan dan kebijaksanaan. Namun semua itu sia-sia tanpa fondasi iman dan martabat yang kokoh. Mencari kenikmatan hidup bukanlah kesalahan, selama dibarengi dengan perekat moral yang semestinya dipahami oleh siapa pun yang mengaku beragama.

Sayangnya, moralitas ini sering absen—terhapus oleh aji mumpung dan kalkulasi untung-rugi semata.
Kezaliman bertahan bukan hanya karena kekuasaan, tapi karena rakyat yang tidak paham, tidak peduli, atau memilih diam. Ada yang tidak waras, sehingga malah memperkuat kezaliman.

Ada pula yang cerdas dan sadar, namun takut berbicara karena sadar akan risikonya. Padahal, puncak keberanian adalah berani menegakkan keadilan—meski itu berarti melawan kekuasaan atau bahkan melawan diri sendiri.

Potret bernegara kita kini begitu muram: kejahatan dibungkus rapi dalam legalitas. Legitimasi tidak lagi jadi kebutuhan utama, karena pada akhirnya publik akan “memaafkan” atau malah lupa. Dalam situasi ini, hukum hanya berfungsi bagi mereka yang lemah, sementara mereka yang jahat tahu cara mengakalinya.

Kasus dugaan ijazah palsu adalah contoh nyata. Sederhana di permukaan, namun dibiarkan menjadi polemik berkepanjangan.

Alih-alih transparansi, publik justru disuguhkan kegaduhan, saling fitnah, dan ancaman pidana—sementara bukti utama, yaitu ijazah asli, tak pernah diperlihatkan atau diamankan secara terbuka oleh pihak berwenang.

Institusi besar seperti Polri dan UGM dinilai sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam membiarkan ketidakjelasan ini. Mereka yang berani bersuara, seperti Roy Suryo dan kawan-kawan, justru menghadapi risiko pidana. Namun mereka memilih kalah secara hukum, asal tetap memegang kebenaran.

Seperti prinsip lama: “Jangan jadi pemenang yang zalim.”
Biarlah pertandingan ini berjalan, dan kita lihat siapa yang benar-benar menang—dengan hati nurani.

Harapannya, Presiden Prabowo Subianto kelak mengambil peran penting untuk mengembalikan kedaulatan rakyat, (*).

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *