Limabelas Indonesia, Makassar – Anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Hasrul Hasan, menyoroti kondisi penyiaran di Indonesia yang kini mengalami pergeseran besar akibat kemajuan teknologi dan kehadiran beragam platform media digital. Menurutnya, transformasi ini menuntut negara hadir dengan regulasi yang adaptif dan kuat untuk melindungi kepentingan publik sekaligus menjamin keberlanjutan dunia penyiaran.
Hal tersebut disampaikannya saat menjadi pembicara dalam Diskusi Publik dengan tema “Meretas Problematika Penyiaran di Masa Kini” yang digelar lembaga penyiaran RAZ FM Makassar, Jumat (4/7/2025), di Aula Masjid Al Markaz Al Islami. Acara ini juga menghadirkan Ketua KPID Sulsel, Irwan Ade Saputra, dengan moderator Andi Mangara, seorang praktisi penyiaran senior.
Hasrul mengungkapkan bahwa Komisi Penyiaran Indonesia perlu melakukan studi perbandingan terhadap pola penyiaran di berbagai negara, termasuk Tiongkok, untuk melihat sistem penyiaran seperti apa yang bisa diadopsi dan disesuaikan dengan konteks Indonesia.
“Kita harus terbuka dengan pengalaman negara lain. Tiongkok, misalnya, memiliki model pengawasan dan regulasi yang bisa kita pelajari. Tapi tentu harus disesuaikan dengan nilai-nilai demokrasi dan keberagaman di Indonesia,” ujar Hasrul.
Ia menegaskan pentingnya kolaborasi antara regulator, pemerintah, industri penyiaran, serta masyarakat dalam membangun ekosistem penyiaran yang sehat di era konvergensi media ini.
Diskusi ini menjadi ruang refleksi penting bagi pelaku dan pengamat media untuk menjawab tantangan penyiaran di tengah gempuran platform digital dan perubahan perilaku audiens. Selain itu, kegiatan ini juga menjadi bagian dari upaya literasi media bagi masyarakat agar tetap kritis dan cerdas dalam memilih tayangan.
Kewenangan Semakin Terbatas, Tayangan di Medsos Jadi Tantangan Baru
Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Sulawesi Selatan, Irwan Ade Sahputra, menyatakan keprihatinannya terhadap semakin minimnya kewenangan yang dimiliki lembaganya dalam mengawasi penyiaran di tengah perkembangan teknologi digital.
Menurut Irwan, sejumlah kewenangan strategis yang sebelumnya berada di tangan KPID kini telah beralih. Salah satunya adalah proses perizinan lembaga penyiaran baru yang tidak lagi melibatkan KPID.
“Sekarang, televisi baru atau perizinan siaran sudah tidak melalui KPID lagi. Padahal dulu, ini salah satu fungsi utama kami dalam menjamin isi siaran sesuai dengan norma dan kepentingan publik,” ungkap Irwan, jumat (4/7/2025).
Ia juga menyoroti perubahan drastis dalam pola konsumsi media oleh masyarakat. Jika sebelumnya televisi menjadi medium utama, kini mayoritas masyarakat lebih memilih menonton tayangan lewat smartphone melalui berbagai platform digital dan media sosial.
“Ini tantangan besar. Tayangan yang dikonsumsi masyarakat sudah beralih ke ranah digital, yang nyaris tak memiliki regulasi. Akibatnya, banyak konten vulgar, tidak mendidik, bahkan berpotensi merusak moral bebas beredar tanpa pengawasan,” ujarnya.
Irwan menegaskan bahwa KPID tetap memiliki peran penting dalam menjaga kualitas dan etika penyiaran. Namun, ia mengakui bahwa keterbatasan regulasi membuat KPID sulit menjangkau konten-konten yang berseliweran di media sosial atau platform digital lainnya.
“Masalahnya, tayangan di media sosial tidak masuk dalam kategori siaran konvensional. Padahal, efeknya ke publik sama bahkan lebih besar. Ini celah yang seharusnya segera diatur negara,” tegasnya.
Ia pun mendorong adanya revisi regulasi penyiaran agar lembaga pengawas seperti KPID bisa beradaptasi dengan perubahan ekosistem media yang semakin digital.
“Jika tidak ada pembaruan regulasi, maka perlindungan publik dari konten yang merusak akan sangat lemah. Ini soal masa depan literasi media dan kualitas generasi ke depan,” tutup Irwan.