5G Memberdayakan Budaya, Dari Lukisan Tanah Liat Makassar ke Panggung Dunia

zainal Beta, Maestro Clay painting atau Pelukis Tanah Liat Pertama dunia dari Makassar (Dok.zainal beta)

Zainal Beta, maestro lukis tanah liat asal Makassar, kini menembus pasar global berkat dukungan jaringan Hyper 5G Telkomsel di kawasan Cagar Budaya Nasional Benteng Rotterdam. Lewat koneksi cepat, karyanya menjangkau dunia tanpa meninggalkan akar tradisi.

Limabelas Indonesia, Makassar – Benteng Rotterdam, Cagar Budaya Nasional sekaligus kawasan wisata sejarah ikonik di Makassar (ditetapkan sebagai cagar budaya nasional berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 ), kini bukan hanya menjadi saksi kejayaan masa lalu, tetapi juga simbol transformasi digital masa kini. Kawasan ini termasuk dalam lima titik strategis pengembangan jaringan Hyper 5G Telkomsel di Makassar.

Di salah satu bangunan peninggalan Belanda, tepatnya di Gedung G yang kini menjadi galeri seni, tangan-tangan cekatan Zainal Beta, maestro clay painting pertama di dunia, masih terus berkarya. Pria berusia lebih dari setengah abad ini dengan telaten mencampur tanah dan air ke dalam wadah kecil. Di tangannya, larutan cokelat pekat itu bukan sekadar lumpur. Ia menjadikannya medium hidup untuk melukis.

Zainal Beta, Pelukis Tanah Liat tengah Melukis (Dok. Mila / Limabelas Indonesia)

Sudah 45 tahun Zainal meninggalkan kuas dan cat minyak. Ia hanya butuh tanah, selembar kertas, dan potongan bilah bambu tipis berbentuk segi empat. Saat kekentalan tanah liat dirasa pas, ia mulai menggoreskannya ke atas kertas. Dalam waktu kurang dari dua menit, sebuah lukisan rumah adat Bugis-Makassar yang indah pun tercipta.

Galeri itu juga menjadi ruang workshop pribadinya. Kepada penulis, Zainal bercerita bahwa awal mula dirinya melukis dengan tanah liat terjadi pada tahun 1980 karena sebuah kejadian tak terduga.
“Saat itu saya pulang kerumah dari Gedung Kesenian membawa gulungan kertas. Hujan turun, dan kertas saya terjatuh ke tanah merah. Awalnya saya kira kotor. Tapi saat saya bersihkan, muncul motif seperti lukisan rumah adat dan ikan. Dari situlah saya mulai berpikir, apakah ini bisa jadi medium seni?” kenangnya, Sabtu (26/7/2025).

Zainal Beta, saat diwawancara di depan galerinya di Gedung G Benteng Rotterdam Makassar (Dok. Mila/Limabelas Indonesia)

Jawabannya datang setelah maestro seni lukis Indonesia, Affandi, mengakui dan mematenkan metode Zainal sebagai seni lukis tanah liat pertama di dunia.

Untuk mendapatkan tanah liat terbaik, Zainal menjelajahi berbagai kabupaten di Sulawesi Selatan. Ia menggali tanah 3-4 meter demi menemukan karakter warna dan tekstur khas, yang kemudian diolah selama tiga bulan sebelum siap digunakan.

Kini, karya-karyanya telah tercatat dalam HAKI dan dipamerkan dalam berbagai pameran seni internasional di Jepang, Australia, Jerman, hingga Prancis.

Di era konektivitas tinggi, internet menjadi etalase baru karya Zainal.
“Saya sendiri kurang paham soal teknologi. HP saya biasa ji, Tapi anak saya, yang bernama Mentari, membantu mengunggah proses melukis, menjawab pertanyaan, hingga menerima pesanan dari luar negeri,” ujarnya. “Dulu hanya bisa dilihat di galeri, sekarang dunia bisa lihat dari ponsel mereka.”

Dengan jaringan Hyper 5G Telkomsel di Benteng Rotterdam, galeri kecil ini tersambung langsung dengan dunia. Live workshop, pameran virtual, dan komunikasi dengan kurator internasional menjadi lebih mudah. Beberapa anaknya mewarisi bakatnya sebagai pelukis, dan yang lainnya turut membantu pengelolaan media sosial dan konten digital.

“Ada turis Belanda melihat karya saya di Instagram, lalu datang langsung ke galeri ini. Begitu juga dari Jepang dan Prancis,” cerita Zainal. “Sekarang, rata-rata 50 pengunjung datang setiap hari. Lebih banyak lagi jika weekend. Sebagian besar dari mancanegara, baik perseorangan maupun yang dibawa sama rombongan travel.”

Rombongan turis asal Belanda berkunjung ke Galeri Lukis Zainal Beta (Dok. Mila/limabelas Indonesia)

Penulis sempat berjumpa dengan sekelompok wisatawan asal Belanda. Salah satu di antaranya, Hans, tampak serius menyimak proses Zainal melukis rumah adat dari tanah liat merah. Tak butuh waktu lama, karya indah pun tercipta.

Riswansyah Muchsin (50), seorang pengacara dari Makassar, juga tampak terkesan. Ia membeli salah satu lukisan Zainal.
“Saya suka warna alami tanah yang bisa bercerita. Dibuat langsung di depan mata memberi kesan tersendiri, Ada yang seharga Rp150 ribu, ada juga yang jutaan, tergantung motif dan detailnya, tergantung selera dan isi dompet,” ujarnya tertawa.

Riswansyah, salah seorang pengunjung yang membeli lukisan Zainal Beta (Dok. Mila/limabelas Indonesia)

Sambil menunggu lukisannya selesai, Riswansyah melakukan siaran langsung di TikTok. “Jaringan 5G Telkomsel di sini kencang sekali. Ponsel saya mendukung 5G, dan banyak orang menonton live ini. Kebanyakan dari luar kota,” katanya.

5G dan Pelestarian Budaya di Ruang Publik

Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah XIX Sulawesi Selatan yang menaungi Benteng Rotterdam menyambut baik kehadiran jaringan 5G. Pamong Budaya Ahli Madya, Dra. Rinawati Idrus, M.Pd, mengatakan internet cepat kini menjadi kebutuhan dasar di ruang publik, apalagi di kawasan yang menjadi magnet kegiatan budaya.

“Benteng Rotterdam itu ruang publik. Kami sangat terbantu dengan internet cepat. Banyak pengunjung ingin membuat konten, vlog, dan video lalu menguploadnya. Yang penting bisa diakses semua orang,” katanya.

Pamong Budaya Ahli Madya, Balai Pelestarian Kebudayaan Dra. Rinawati Idrus, M.Pd (Dok. Mila/Limabelas Indonesia)

Ia bahkan berharap jaringan cepat ini bisa diperluas ke situs-situs budaya lain di Sulawesi Selatan. “Kami siap bantu Telkomsel mengidentifikasi lokasi-lokasi strategis, jika dibutuhkan” tambahnya.

Muhammad Aulia Rahmat, Pamong Budaya Ahli Pertama BPK XIX, juga menekankan pentingnya bandwidth besar untuk mendukung event budaya, seperti acara Warna Budaya yang dihadiri istri Wakil Presiden Selvi Ananda dan 34 istri menteri bulan Mei 2025 lalu.
“Event seperti ini butuh live streaming dan dokumentasi digital. Internet cepat itu mutlak,” ujarnya.

Pamong Budaya Ahli Pertama BPK XIX, Muhammad Aulia Rahmat (Dok. Mila/limabelas Indonesia)

BPK XIX bahkan telah membuka ruang virtual melalui laman https://bpkw19.id/, agar masyarakat bisa menjelajahi situs budaya secara daring lewat teknologi Virtual Reality (VR).

“Kami ingin semua orang, termasuk yang tak bisa datang langsung, bisa mengeksplorasi situs budaya secara digital. Ini bagian dari misi pelestarian berkelanjutan,” ujar Aulia.

Teknologi Menyatu dengan Budaya

Menurut General Manager Region Network Operations and Productivity Telkomsel Sulawesi, Asep Hermawan, pemilihan Benteng Rotterdam sebagai titik strategis pengembangan 5G bukan tanpa alasan.

Asep Hermawan – GM Region Network Operations and Productivity Telkomsel Sulawesi (Dok. Telkomsel)

“Selain merupakan ikon budaya dan sejarah Makassar yang ramai dikunjungi wisatawan dan pelaku seni, lokasi ini dianggap strategis untuk menunjukkan bagaimana teknologi 5G dapat mendukung pelestarian budaya sekaligus mendorong digitalisasi sektor pariwisata dan kreatif. Selain itu, lokasi ini juga menjangkau beberapa kantor pemerintahan, perkantoran swasta, serta berbagai fasilitas umum dan destinasi pariwisata lainnya yang secara pengguna HP 5G cukup banyak,” katanya.

Data per April 2025 menunjukkan bahwa penetrasi perangkat 5G di Makassar sudah mencapai 21 persen. Hingga kini, Telkomsel telah mengoperasikan 73 BTS 5G di Makassar dan lebih dari 2.500 BTS 5G di 56 kota/kabupaten di seluruh Indonesia.

Direktur Network Telkomsel, Indra Mardiatna, menegaskan bahwa perluasan jaringan ini adalah bagian dari komitmen Telkomsel untuk mendorong ekonomi digital di Indonesia Timur.

Direktur Network Telkomsel, Indra Mardiatna (Dok. Telkomsel)

“Hyper 5G Telkomsel akan terus diperluas secara bertahap sesuai kesiapan ekosistem, termasuk di Makassar, Jabodetabek, Surabaya, dan Denpasar,” ujarnya.

Di tengah kokohnya dinding batu Benteng Rotterdam yang telah berusia ratusan tahun, kini lahir babak baru, babak di mana seni, budaya, dan teknologi bertemu dalam satu frekuensi. Suara masa lalu dan denyut masa depan kini menyatu, membawa harapan bahwa warisan budaya bisa tetap hidup dan dikenal dunia di era digital. (Mila)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *