Limabelas Indonesia, Jeneponto, 5 Desember 2025 – Ketika sebagian besar wilayah di Kabupaten Jeneponto, masih diselimuti sunyi, di Desa Cinong, Kecamatan Tamalatea, wilayah yang berada di pesisir selatan Sulawesi Selatan dan berbatasan langsung dengan Selat Makassar, kehidupan sudah menggeliat sejak pukul 04.00 WITA.
Di rumah budidaya yang berdiri kokoh di tepi pantai, puluhan perempuan desa sudah berkumpul. Di tangan mereka, tak hanya ada tali dan bibit, tetapi juga janji akan rezeki dari laut.
Dengan cekatan dan penuh keuletan yang sudah teruji, jari-jari mereka memilah benih rumput laut cottonii. Cottonii adalah jenis rumput laut merah bernilai ekspor yang banyak dibudidayakan, terutama untuk diambil karagenannya yang digunakan sebagai bahan pengental, pengemulsi, dan pembentuk gel dalam industri makanan, minuman, farmasi, dan kosmetik. Selain itu, rumput laut ini juga memiliki manfaat kesehatan karena kandungan senyawa bioaktifnya seperti antioksidan, antibakteri, mineral, serat, dan protein.

Perempuan yang menjadi petani rumput laut ini adalah tulang punggung ekonomi keluarga. Upah mereka sangat bervariasi tergantung lokasi, kualitas panen, dan harga pasar, tetapi bisa sangat menjanjikan. Dengan potensi pendapatan puluhan juta rupiah per panen (setiap 1-2 bulan), meskipun ada fluktuasi harga yang signifikan. Namun rata-rata pendapatan bersih per bulan bisa mencapai jutaan rupiah setelah dikurangi biaya modal dan operasional.
Di antara mereka, ada sosok Daeng Mantasiah (45) yang merupakan cermin ketangguhan perempuan pesisir. Dia bekerja sudah 5 tahun bersama sang mandor yang dimotori oleh Daeng Ngunjung (59), yang membawa latar belakang tak biasa. Ia adalah mantan prajurit TNI Angkatan Darat Kodam XIV/Hasanuddin. Setelah purna tugas, ia memilih “medan perang” baru, membudidayakan cottonii di laut dangkal berarus tenang, yang kini mampu memberdayakan puluhan perempuan.
Dahulu, keuletan Daeng Mantasiah dan rekan-rekannya sering kali diuji oleh ketidakpastian. Informasi harga yang lambat dan ancaman cuaca buruk yang tak terduga bisa merenggut hasil kerja keras mereka. Namun, hal tersebut berubah, seiring hadirnya kecepatan digital.
Kini, budidaya rumput lautnya sangat bergantung pada konektivitas internet untuk pemantauan Cuaca, “Kami mengecek prakiraan cuaca seperti informasi BMKG untuk melindungi hasil panen dari badai, ” Ujarnya.
Selain itu, konektivitas juga dibutuhkan untuk akses Pasar, yakni memantau harga cottonii secara real-time demi keuntungan maksimal. “Kami terbantu internet untuk mengirim gambar hasil panen kepada pengepul atau pembeli dari jarak jauh, ” jelasnya.
Daeng Mantasiah merasakan langsung manfaatnya. Ia mengatakan bahwa sinyal yang kuat telah menjamin usaha mereka. “Sinyal itu penting sekali supaya kalau kirim gambar hasil panen ke pengepul, gambarnya cepat sampai dan kami bisa cepat dapat harga penawaran. Ini membuat pekerjaan kami jadi lebih terjamin,” katanya.
Kompak, Daeng Ngunjung maupun Daeng Mantasiah serta puluhan perempuan petani rumput laut lainnya di desa Cinong memantapkan pilihannya ke IM3, “Saya pakai IM3 Indosat, karena sinyalnya kuat di sini. Penting sekali, apalagi kalau mau kirim gambar hasil panen ke pengepul atau tanya-tanya ke petani di daerah lain.”

IM3 melalui Indosat Ooredoo Hutchison (IOH) saat ini fokus memperluas jangkauan dan meningkatkan kualitas jaringannya di Sulawesi Selatan, dengan tujuan memberikan dampak positif dan membuka peluang usaha baru bagi masyarakat pesisir.
IOH melaporkan tingkat cakupan jaringan di Sulsel telah menjangkau lebih dari 94% jumlah populasi, didukung pertumbuhan sites lebih dari 5% secara tahunan (YoY).
EVP Head of Circle Indosat Kalisumapa, Swandi Tija berharap kontribusi ini terus berlanjut. “Kami berharap dapat menciptakan dampak positif bagi kehidupan banyak orang, selain itu, agar semua senang dan komunikasi tetap lancar, tetap memakai kartu Indosat agar Sinyal nyambung terus,” ujar Swandi Tija.
Di bawah sinyal yang stabil, keuletan Daeng Mantasiah dan rekan-rekannya di Desa Cinong kini memiliki jembatan langsung menuju pasar.
“Kalau ada pendampingan (digital), lebih bagus lagi. Supaya semua bisa ikut berkembang,” harap Daeng Mantasiah, mewakili suara petani perempuan yang siap beradaptasi demi masa depan yang lebih cerah.(*/Mila)





