Perwakilan API dari Makassar, Founder Girl No Abuse Sesalkan Pemerintah Tak Lagi Jadi Pelindung

Limabelas Indonesia, Makassar – Aliansi Perempuan Indonesia (API) menggelar konferensi pers bertajuk PRABOWO: Hentikan Kekerasan Negara, Cabut Fasilitas dan Tunjangan DPR, dan Wujudkan Keadilan untuk Rakyat, belum lama ini secara daring melalui Zoom Meeting dan YouTube.

Forum ini digelar menyusul kematian Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online yang tewas setelah dilindas mobil aparat saat aksi massa.

Dalam konfrensi pers tersebut diapaprlan, API menegaskan bahwa peristiwa tersebut tidak bisa dipandang sebagai insiden tunggal, melainkan bagian dari wajah kekerasan negara yang sistematis.

Aparat disebut digunakan sebagai alat untuk membungkam suara rakyat dengan praktik impunitas yang terus berlangsung, sementara DPR dan pejabat negara justru menikmati fasilitas, tunjangan, dan gaji berlimpah.

Rilis juga menyoroti represi brutal aparat di lapangan. Perempuan dan pelajar pun tidak luput dari intimidasi, pemukulan, dan perlakuan diskriminatif.

Semua itu, menurut API, menunjukkan negara lebih memilih jalan kekerasan daripada membuka ruang dialog demokratis.

Wajah kekerasan negara juga terlihat di banyak daerah, seperti pemindahan tahanan politik Papua ke Makassar, konflik agraria di Rempang, Sulawesi, dan Maluku Utara, hingga meluasnya teritorial militer di wilayah sipil.

API menilai pola tersebut mencerminkan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang semakin militeristik, menekan anggaran rakyat, dan justru menaikkan tunjangan DPR.

“Negara yang seharusnya melindungi justru melukai. DPR yang seharusnya menyuarakan kepentingan rakyat malah menjadi bagian dari mesin penindasan,” demikian pernyataan API.

Perwakilan dari berbagai daerah turut hadir dalam konfrensi pers tersebut.

Salah satunya adalah Dian Aditya Ning Lestari, warga sipil Makassar sekaligus founder Girl No Abuse, menjadi salah satu suara yang menegaskan pentingnya perspektif budaya lokal dalam menghadapi represi negara.

“Nilai kekerasan yang dianut aparat tidak sesuai dengan Sipakatau, Sipakalebbi, Sipakainge dari Sulawesi Selatan yang mementingkan perdamaian,” ujarnya.

Wanita yang akrab dipanggil Diku ini juga menegaskan bahwa transparansi mutlak diperlukan.

“Kami menuntut transparansi dan akuntabilitas dari para pelaku kekerasan aparat serta anggota dewan yang menggunakan pajak rakyat,” kata Diku.

Ia menilai, impunitas terhadap aparat dan perilaku elite yang menikmati fasilitas rakyat hanya akan memperlebar jurang ketidakadilan.

Diku juga menyoroti dampak pendekatan militeristik terhadap layanan publik.

“Fokus pada militeristik membuat operasional bantuan untuk korban kekerasan seksual berkurang, seperti minimnya konseling PUSPAGA maupun menurunnya biaya operasional rumah aman,” tambahnya.

API dalam konferensi persnya memaparkan serangkaian tuntutan yang lebih rinci.

Mereka menuntut Presiden Prabowo Subianto bertanggung jawab penuh atas kekerasan negara dan segera memberikan keadilan bagi korban, termasuk Affan Kurniawan.

Kapolri dan Kapolda diminta dicopot karena dianggap gagal menjadikan Polri sebagai institusi yang menjaga keamanan, menegakkan hukum, dan melindungi masyarakat.

API menekankan pentingnya membuka nama-nama aparat pelaku kekerasan dan memastikan proses hukum berlangsung tuntas, sehingga impunitas tidak lagi dibiarkan.

Reformasi kepolisian disebut mutlak, termasuk penghapusan budaya militeristik yang penuh kekerasan, penghentian penggunaan senjata, gas air mata, dan perlengkapan perang terhadap rakyat sipil, serta larangan penangkapan sewenang-wenang terhadap massa aksi, pelajar, dan kelompok rentan.

API juga menuntut pencabutan seluruh fasilitas dan tunjangan berlebihan bagi DPR dan pejabat negara.

Mereka meminta agar ruang dialog dibuka dengan menemui rakyat dan mengakomodasi aspirasi masyarakat di berbagai wilayah, serta memberhentikan anggota DPR yang tidak menjalankan amanat konstitusi.

Dalam hal kebijakan fiskal, API menuntut reformasi perpajakan.

Kenaikan pajak yang membebani rakyat kecil harus dihentikan, sementara transparansi penggunaan anggaran negara dari pajak wajib dibuka ke publik.

API juga menolak praktik oligarki dan rangkap jabatan pejabat negara di BUMN, serta mendesak pembentukan portal transparansi untuk memantau gaji dan tunjangan pejabat.

Selain itu, API menegaskan perlunya penghentian represi terhadap kebebasan sipil.

Mereka mendukung independensi media untuk memberitakan fakta tanpa intervensi, menolak pemblokiran komunikasi digital, dan menuntut penghentian kriminalisasi terhadap masyarakat yang berani bersuara.

Evaluasi menyeluruh terhadap kinerja kementerian juga diminta dilakukan, terutama bagi lembaga yang gagal mencegah pelanggaran HAM.

API menilai, alokasi anggaran negara justru banyak dihabiskan oleh institusi yang melakukan kekerasan terhadap rakyat.

Konferensi pers ditutup dengan penegasan sikap bahwa kondisi saat ini adalah krisis politik sekaligus krisis kemanusiaan.

API bersama organisasi perempuan, buruh, dan masyarakat sipil menegaskan tekad untuk terus menekan pemerintah, menghentikan praktik represif, menuntut reformasi struktural, dan mengembalikan demokrasi agar benar-benar berpihak pada rakyat.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *