Kisah Faiz, Seniman Cilik Penjaga Tradisi Adat Makassar

Penulis : Sitti Fakiha (Siswi SMAN 2 Makassar, Kelas X-9)

Suara gendang terdengar ditabuh berirama dari sebuah baruga rumah panggung khas Makassar berukuran 6×6 meter, yang berdiri dikawasan bersejarah Benteng Somba Opu Makassar. Ternyata yang ditabuh itu adalah Gandrang, suatu alat musik gendang tradisional khas dari Makassar Sulawesi Selatan. Terlihat seorang bocah tengah menabuh Gandrang tersebut dengan penuh semangat.

Dia bernama Muhammad Faiz Al Zyan atau akrab disapa Faiz. Usianya baru 9 tahun, namun tangan kecilnya telah piawai memainkan alat musik tersebut. Dia tampak serius memegang sepasang stik kayu. Terpaut di depannya, sebuah Gandrang. Gandrang ini pada umumnya dipakai pada kegiatan adat dan kebudayaan atau pun suatu hajatan.

Di tempat ia berlatih bukan sekadar rumah tinggal, melainkan juga sebuah sanggar seni yang bernama Sanggar Alam Serang Dakko.

Penampilannya bersahaja, Faiz yang tampak ramah, sejenak menghentikan latihannya dan bersedia menerima penulis sekaligus mau diajak berbincang. Dia ditemani sang kakek.

Berpostur agak tambun, Faiz bocah cilik ini memilih tetap menjaga dan melestarikan warisan budaya leluhur. Dia merupakan siswa kelas 4 SD Inpres Sapiria Kabupaten Gowa. Sejak usia 4 tahun, Faiz telah mengenal dan menguasai permainan alat musik tradisional tersebut.

Kini, ia rutin berlatih memainkan berbagai jenis Gandrang. Mulai dari Gandrang Pakarena, Gandrang Pamancak dan Gandrang Bulo. Sementara yang sering dia pentaskan adalah atraksi gendang Tunrung Pakanjarak.

Warisan Sang Maestro

Faiz lahir dari keluarga seniman. Kakeknya adalah seniman senior yang merupakan Maestro gendang dunia. Namanya Daeng Serang Dakko, seniman senior yang berusia 86 tahun. Meski usianya sudah termasuk sepuh, namun tak terlihat gurat wajah yang terlalu tua. Memakai sarung dan kaos hitam bergambar pahlawan nasional Sultan Hasanuddin, Daeng Serang bercerita dia kerap diundang ke pentas musik Internasional, memainkan gendang hingga ke Eropa dan Amerika.

Pengalaman berkesannya, Ketika dia menginjak kaki di Gedung Putih Amerika Serikat. Kala itu presiden yang menjabat masih George W. Bush, “Bangga sekali ka nak, sampe lututku gemetar masuk di Gedung Putih yang biasanya saya hanya lihat di televisi,” ujarnya mengenang.

Tak kalah, berkesannya Ketika dia tampil di Thailand. Hampir saja katanya dia menjadi korban kedahsyatan Tsunami tahun 2004 lalu, “Allah sudah takdirkan setiap nasibnya orang Nak, ketika diundang tampil, untungnya sehari sebelum musibah Tsunami saya sudah meninggalkan hotel dekat pantai pattaya,” sebutnya.

Di panggung internasional, dia dikenal sebagai maestro gendang yang piawai menabuh gendang tradisional. Gelar maestro pernah dianugerahkan oleh departemen kebudayaan dan pariwisata pada 2007 hingga di usia 86 tahun saat ini, dia tidak pernah berhanti bermain gendang.
Meski bergelar maestro, Daeng Serang tidak pernah mematok harga bagi siapapun yang ingin mengundangnya pentas, “Segalanya memang pakai uang, tapi tidak semuanya harus memakai uang. Saya membuka pintu bagi siapa saja yang mau belajar disini, yang penting dia mau merawat seni, tradisi, dan budaya. Ini jauh lebih bermakna ketimbang uang,” tegasnya.

Daeng serang dakko acapkali berkolaborasi dengan musisi dan seniman, baik tanah air maupun mancanegara. Ia telah menjadi simbol dari kekayaan budaya Makassar dan selalu menanamkan kecintaan musik tradisional kepada anak, cucu, dan cicitnya sejak kecil.

Memiliki 18 cucu yang semuanya memiliki bakat seni termasuk Faiz, cucunya. “Semua cucu saya, tidak pernah saya wajibkan belajar seni, mereka terpanggil dengan sendirinya dan datang berlatih dengan kemauan sendiri,” jelasnya.

Meski demikian, Daeng Serang tidak pernah memaksa Faiz untuk menapaki jejak yang sama. Setali tiga uang, Faiz yang paham lahir dari keluarga seniman besar yang sangat dekat dengan dunia seni tradisional, memilih tetap rendah hati dan mengaku tidak ada paksaan untuk melanjutkan warisan tersebut.

Diakuinya, dirinya memiliki ketertarikan terhadap gendang sejak usia 2 tahun, “Awalnya saya cuma sering dengar suara musik yang dimainkan di sanggar sejak umur 2 tahun, lalu di umur 4 tahun mulai mahir dan umur 7 tahun mulai serius (menekuni),” ujar Faiz.

Latihan yang dilaksanakan pada hari sabtu dan minggu, menurut Daeng Serang tidak hanya difokuskan pada permainan gendang saja, tapi juga ada latihan menari, meniup Pui’-Pui’ (alat musik tiup khas bugis makassar), dan latihan seni tradisional lainnya.

Daeng Serang kerap tampil bersama anak dan cucunya di berbagai acara. Terkenal memiliki gaya yang unik, yakni melakukan aktraksi di tengah tengah permainan musiknya. “Musik itu dari hati dan juga panggilan jiwa, tidak perlu di paksa anak dan cucu saya mewarisi kemampuan seni ini Mereka terbiasa mendengarkan saya terlebih dahulu bermain,” sebutnya sambal mengusap rambut Faiz, cucunya.

Faiz menuturkan, untuk berlatih dia dibuatkan gendang khusus, yang sesuai dengan bentuk badannya, “Nenek (Faiz memanggil kakeknya dengan sebutan nenek) buatkan saya gendang khusus yang sesuai dengan bentuk badan, jadinya tidak berat ki saya bawa,” katanya.

Di rumah, Faiz memiliki jadwal berlatihnya sendiri, yaitu setiap sabtu dan minggu. Jadwal ini membantunya membagi waktu antara sekolah, latihan dan waktu istirahat. Latihannya meliputi Teknik pukulan, ketukan, hingga cara mengatur nafas.

Gadget dan Sanksi

Di tengah dominasi teknologi dan maraknya gim maupun media sosial, Faiz tetap setia mengasah kemampuannya berlatih gandrang.

Kala teman sebayanya sibuk menghabiskan waktu bermain game online, Faiz justru memilih fokus latihan menabuh gandrang. Menurutnya, gandrang adalah hiburan sekaligus wadah bermain. Dirumah, dia tetap dibolehkan memainkan ponsel, untuk memudahkan mengakses informasi dan meningkatkan kreativitas, tapi dengan batasan waktu. Tidak boleh memainkannya terlalu lama. Ada aturan yang telah diberlakukan kakeknya, “Kalau saya main HP lama-lama, nanti kakek sita HP nya,” ujarnya sambil tertawa kecil.

Kakek Faiz memang tidak main-main soal aturan, ia punya aturan tegas di rumah, ponsel hanya untuk kebutuhan seperlunya, jika kedapatan terlalu lama memakai gadget, maka gadgetnya akan diamankan.


Mahir Melakukan Aktraksi Budaya Angngaru

Angngaru adalah tradisi budaya berupa ikrar atau sumpah setia prajurit menggunakan Bahasa makassar dan ditampilkan dalam acara adat budaya atau penyambutan tamu kehormatan. Faiz kecil ternyata memiliki kemampuan itu. Dia mahir dalam seni Angngaru.

Ketika melakukan tradisi Angngaru, suaranya lantang bersemangat, menggugah siapapun yang mendengarnya. Dia mengenal atraksi itu dari kakeknya, Menurut kakeknya, tradisi adat Angngaru, jaman dahulu dibawakan oleh prajurit kerajaan sebelum berangkat ke medan peran.

Satu-Satunya Seniman Cilik Di Sekolah

Diantara teman teman sekolahnya, Faiz satu satunya siswa yang piawai memainkan alat musik tradisional.

Di SD Inpres Sapiria Kabupaten Gowa, Faiz merupakan siswa yang piawai memainkan gendang, sebuah kemampuan yang berbeda dari teman teman sebayanya. Jika teman temannya lebih tertarik bermain game online, maka faiz sendiri memiliki rutinitas yang tidak pernah terganggu dunia gadget yang kini menjadi bagian dari kehidupan sehari hari anak anak sebayanya.

Faiz bercerita, dirinya sering mengikuti banyak pementasan, baik di tingkat lokal maupun nasional. ”Pernah ka’ tampil baru baru ini di benteng Rotterdam (Makassar), saya tampil untuk sambut istri wapres (Selvi Ananda Gibran),” ujarnya. Acara yang dimaksud adalah sebuah pagelaran budaya nusantara se-Sulawesi Selatan, dan Faiz satu satunya pemain alat musik tradisional dalam penyambutan tersebut yang masih berusia belia.

Penampilannya kala itu menuai pujian, banyak orang termasuk para pejabat dan tamu undangan yang hadir terhibur.

Dalam kehidupan sehari-harinya, Faiz dikenal sebagai anak yang ramah, murah senyum, supel namun disiplin. Soal kemandirian ia setiap pagi, rutinitasnya sebagai siswa sekolah dasar dia lakoni. Mulai jam 7 pagi sudah berada di sekolah, “tidak pernah ka’ terlambat ke sekolah, saya jarang diantar karena dekat ji sekolah dari rumah, senang ka’ jalan kaki supaya sehat,” katanya dalam dialek khas Makassar sembari tertawa.

Ia tak hanya menghabiskan waktu bermain gendang saja, tetapi juga aktif dalam kegiatan bela diri yakni pencak silat. Faiz bahkan pernah menjuarai lomba pencak silat antar sekolah dan juga kejuaraan tingkat kota Makassar. Hal ini menunjukkan bahwa seni tradisional dapat berjalan seiring dengan olahraga dalam membentuk karakter dan keidsiplinan anak.

Pandangan Pengamat Budaya

Pengamat budaya Makassar, Andi Redo yang juga pemilik Yayasan Seni Batara Gowa, mengatakan sosok Faiz adalah harapan bagi pelestarian musik tradisional yang semakin tergerus oleh perkembangan zaman. “Bakat Faiz adalah bukti bahwa budaya kita masih hidup dan diteruskan ke generasi muda.”

Kondisi saat ini yang serba digital, anak-anak lebih sering dikelilingi oleh teknologi dan hiburan digital daripada kegiatan kegiatan seni tradisional. Namun, Andi Redo mengatakan, anak-anak tetap memiliki ketertarikan yang besar terhadap seni, asalkan diberikan akses yang tepat , dukungan dan tidak dipaksa untuk terlibat.

Dalam dunia pendidikan formal, menurut Andi Redo, sayangnya seni seringkali dianggap sebagai selingan atau sesuatu yang tidak penting. “Seni adalah bagian penting bagi perkembangan anak baik secara emosional maupun intelektual. Pelajar akan lebih tertarik untuk berkesenian , mengeksplorasi kemampuan mereka jika diberikan dukungan dan akses yang memadai. Akses ini berupa fasilitas, bimbingan, dan kesempatan berinteraksi dengan berbagai jenis seni,” ujarnya.

Mengidolakan Sang Kakek

Kebanyakan anak-anak sebayanya mengidolakan Selebriti, tokoh fiktif, pemain sepak bola, atau karakter kartun, berbeda dengan Faiz. Dia justru mengidolakan sang Kakek.
Kakeknya sering menginspirasi pola permainannya serta banyak mengajarkan makna hidup, “Idola saya nenek,” ujar Faiz lugas.

Faiz tumbuh dan sering melihat kakeknya berlatih dan mengajar di sanggar seni yang sudah banyak menghasilkan seniman-seniman berbakat.

Dukungan Pihak Sekolah

Bakat Faiz dalam memainkan gendang bukan hanya tumbuh di lingkungan keluarga, tetapi juga mendapat dukungan penuh dari lingkungan sekolahnya, di SD Inpres Sapiria Kabupaten Gowa. Di sekolah, ia kerap tampil di berbagai acara, baik itu di pentas seni maupun acara peringatan hari besar nasional. Pihak sekolah tidak hanya mengetahui keahliannya, tetapi juga turut memberi ruang untuk Faiz mengekspresikan kemampuannya. (*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *